Me vs Stepbrother (Chapter 02)

Flashback….

“Tinggallah dengan baik. Ibu mohon jangan membuat masalah Park Jieun.”

Minhyo, ibu Jieun, memegang pundak putrinya dengan hangat. Memohon agar putrinya tak banyak atau tidak membuat masalah saat dirinya tak ada di samping Jieun. Bagaimana pun, Jieun adalah Putri kesayangannya, putri semata wayangnya.

Jieun tersenyum meremehkan, tidak membuat masalah? Oh, itu bukan Park Jieun namanya. Apalagi ia sangat terpaksa tinggal bersama keluarga baru ayahnya dan itu sangat menyebalkan baginya.

Ingat, ia bahkan tak sudi. Tidak sama sekali. Jika bukan karena ancaman masuk asrama, ia tak akan menginjaki kakinya di sini.

Jieun tidak suka tinggal bersama orang yang merusak hubungan ayah dan ibunya. Sekalipun semua sudah menjadi lalu, tapi tidak untuk Jieun.

Jieun tidak suka hidupnya di usianya yang berumur tujuh belas. Itu benar, dan ia bersungguh-sungguh.

“Selamat jalan. Nikmati bulan madumu,  ibu.” Jieun mengulas senyumannya.

Minhyo berbalik bersama suaminya. Tangannya melambai pada keluarga mantan suami serta putrinya di belakang yang semakin menjauh dari pandangannya. Tak lama, mereka sudah menaiki mobil ferari, menuju bandara.

“Selamat datang, Jieun. Anggaplah rumah sendiri,” sambut Jiyoung ramah.

Jieun tak mengindahkan. Dan Jiyoung memakluminya. Tentu hatinya panas.

“Ayah, di mana kamarku?”tanya Jieun.

“Ayo masuk, Taeyong akan memberitahu kamarmu.”

Jieun mendongak, melihat punggung laki-laki yang berjalan di depannya. Oh, namanya Taeyong. Ck, cuek sekali ia, batin Jieun.

Seketika itupula Jieun menyadari bahwa nama Taeyong serasa tak asing di kupingnya. Dan memang benar,tidak salah lagi, Taeyong yang menjadi saudara tirinya adalah Lee Taeyong yang sukses menyita perhatian seisi sekolah dengan bakat dancenya. Oh, Jieun tak suka ini, Jieun tak suka seseorang yang terkenal sama-sama menempati satu rumah. Rasa bencinya bertambah puluhan kali lipat mengetahui siapa Taeyong sebenarnya. Damn!

Sesampainya di lantai dua, Taeyong sama sekali tidak menoleh meski kedua orangtua mereka sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing di lantai bawah.

“Yak! Kau ini bisu, ya?” cecar Jieun sarkastik.

Taeyong menghentikan langkahnya. Ia mendongak, melihat gadis di hadapannya dengan datar. “Ini kamarmu. Bersihkanlah setiap hari,” katanya dingin. Lalu berjalan melewati Jieun.

“Oh, kukira kau bisu. Lain kali tolong sambut tamu dengan baik. Kau tahu maksudku.” ketus Jieun, pandangannya tak lepas dari Taeyong.

Taeyong menghentikan langkahnya lagi, ia tidak menoleh, tangannya dimasukan ke saku celananya. “Apa kau menyahut sambutan, ibu?  Tidak,’kan?”

Tangan Jieun mengepal kuat-kuat. Amarahnya perlahan naik. “Ia bukan ibuku, kau tahu itu, Lee. Tae. Yong.” Jieun menekan namanya.

Taeyong kembali melangkah, ia berucap santai namun lebih dominan cuek, “aku lebih tua darimu, belajarlah sopan santun!” dan ia menuruni tangga meninggalkan Jieun di sana.

“Berisik! Bawel kau!” Jieun memekik sengit tak mau kalah. Namun, nyatanya ia merasa kalah Taeyong tidak menjawab makiannya karena menuruni tangga seolah tak mendengarnya.

Satu yang menjadi pengingat Jieun bahwa pertemuannya dengan Taeyong adalah yang terburuk. Ia tak pernah merasa kalah beradu mulut seperti ini, apalagi dengan laki-laki.

Ia benci Taeyong.

Ia benci Jiyoung.

Ia benci tinggal di sini.

Me vs Stepbrother

Kantin sekolah kini dipenuhi oleh lalu lalang siswa-siswi yang menikmati jam istirahat. Taeyong bersama gengnya…, ralat,  kawan-kawannya tengah duduk, berkumpul menikmati makan siang di sebuah meja di sana. Ekslusif, seperti kebanyakan drama atau semacam boys before flower. Mereka yang berkumpul seakan menjadi idola disantero sekolah.

“Jam berapa kita berkumpul, hari ini? Bukankah jadwalnya diundur kemarin?” tanya Yuta yang dijuluki pangeran Takoyaki oleh penggemarnya di sekolah.

Seo Youngho yang sering dipanggil Johnny mengendikkan bahu, menjawab sembari mengunyah kimbap di mulutnya. “Entahlah, tanyakan saja Taeyong.”

“Kau menjijikan, telan makananmu dulu. Barulah menjawab,” dumel Taeyong.

Johnny tersenyum lebar.

Hyung akan pulang lebih awal’kan hari ini?” Jaehyun si maknae buka suara.

Taeyong menghela napas. Ia menggeleng mendengar perkataan teman-temannya. Perasaannya campur aduk antara sedih dan tak enak. Ia menggeleng lemah. “Tidak, aku pulang telat. Jadi, jadwal latihan dancenya diundur lagi.”

“Taeyong, apa maksudmu?  Lombanya minggu depan. Tinggal lima hari lagi. Jangan bercanda. Apa alasanmu berkata begitu?” sungut Yuta. Matanya melebar mendapatkan jawaban Taeyong. Oh, mereka ada lomba lima hari lagi sementara Taeyong sebagai leader mengundur jadwal mereka. Bagaimana bisa mereka berlatih untuk menang kalau begini terus?

Taeyong mendesah, ia memijit pelipisnya. “Yuta, kau tahu masalahku. Gadis itu masalahku sekarang. Ia tanggung jawabku.”

Winwin, murid pindahan China itu meneguk segelas air lalu berkata heran, “Kau dan aku masih baru di sini, kenapa tidak ia saja yang… Bertanggung jawab padamu?”

“Aku kakaknya, Winwin.”

Winwin terkekeh menerima jawaban dingin Taeyong.

“Lebih tepatnya kakak tiri.” tambah Johnny sembari menunjuk Taeyong.

“Dan ia tidak suka padamu. Jadi, untuk apa menjaganya, heh?” tanya Yuta meremehkan.

Seperti merasakan apa yang Taeyong alami, Jaehyun menghela napasnya cemas. “Hyung, kau seharusnya tak perlu bertanggung jawab.” ucapnya seolah frustrasi.

Seakan lampu itu menyala di atas kepalanya, Johnny kembali membuka suara dengan dugaan otaknya. “Atau jangan-jangan, kau menaruh hati padanya?” tanyanya menggoda.

Taeyong berdecak, ia sungguh dibuat stress dengan masalah sepele seperti ini. Apalagi saat teman-temannya berkata tidak waras, maksudnya macam-macam. Menaruh hati pada Jieun? Big no! Itu takkan pernah terjadi. Ia masih waras untuk memilih perempuan.

“Kalian tak mengerti. Jangan bicara sembarangan. Kalau bisa aku juga tak akan peduli pada Jieun. Dan sudah meninggalkannya di jalanan malam tadi.”

Taeyong peduli pada Jieun. Ya, ia terpaksa. Semua karena permintaan ayah tirinya.

Dari kecil, Taeyong tidak punya ayah. Ayah kandungnya meninggal saat ia berusia satu tahun setelah kelahirannya. Kecelakaan pesawat yang jatuh membuat sang ayah hilang, mayatnya tidak ditemukan. Ayahnya dinyatakan meninggal.

Saat ini, ia ingin merasakan bagaimana kasih sayang seorang ayah yang sempat hilang. Dan berusaha berbakti walau hanya seorang ayah tiri.

Itu saja, tidak lebih. Yeah.

“Taeyong, aku minta maaf sudah merepotkanmu untuk semalam. Tapi kuharap kau mau menolong ku kali ini lagi dan banyak merepotkanmu. Tolong, jagalah Jieun. Tolong, buatlah ia berubah. Ibunya bahkan tidak tahu soal kenakalannya di sekolah.”

Rentetan kata Daejun sebelum keberangkatan Taeyong ke sekolah terngiang di otaknya. Bagaimana ayah tirinya berkata lirih dan memohon padanya. Sungguh, itu membuat hatinya luluh entah mengapa. Dan membuatnya mengangguk saat itu juga.

Aigoo, ia datang, Taeyongie.”

Suara Winwin yang berbisik sukses membuyarkan lamunan Taeyong. Tidak, Taeyong tidak mendongak untuk melihat siapa yang datang. Ia sudah tahu dari mana aura itu berasal.

Ya, Park Jieun.

Yuta kembali tersenyum meremehkan. “Panjang umur rupanya.”

Jieun melipat tangannya,  ia berdiri di depan Taeyong dengan wajah masam. “Mulut ember sialan. Sebenarnya apa mau mu, hah?” makinya sarkastik. Suaranya bahkan dapat didengar oleh siswa sekitar yang ada di kantin.

“Sudah kubilang berapa kali, belajarlah sopan-santun.” ucap Taeyong dingin, mukanya datar dan ia sama sekali enggan untuk menatap Jieun.

“Jangan berdalih! Jawab pertanyaanku! Lee Taeyong!” pekik Jieun sengit. Emosinya membara sejak tadi pagi. Dan tangannya sudah sukses memecahkan pot bunga sekolah. Jangan tanya kenapa, Taeyong alasannya.

Jaehyun akhirnya berdiri dari duduknya. Ia menatap Jieun kesal. “Yak, bisakah kau pelankan suaramu? Bicaralah baik-baik dengan Taeyong hyung.”

Johnny yang duduk di samping Jaehyun, dengan sigap menenangkannya agar segera duduk kembali.

“Jae… Jaehyun. Kenapa kau bisa ada… di sini?” seketika Jieun tergugup, ia meneguk ludahnya susah payah begitu melihat Jaehyun yang notabenenya orang yang sekelas sekaligus orang yang ditaksirnya sejak kelas sepuluh ada di sini. Melihat sikap buruknya. Bulshit!

Jieun merasa jatuh dan ditimpa tangga pula. Kenapa akhir-akhir ini nasibnya selalu sial?

Masa bodoh, ia sedang tidak peduli. Yang jadi masalahnya sekarang adalah Lee Taeyong yang membuatnya harus berdiri didepan kelas gara-gara terus melamun mikirkan mulut ember Taeyong. Dan mau tak mau dihukum oleh Chanyeol saem ketika pelajaran sejarah.

Jieun dengan beraninya menggebrak meja Taeyong,  mendekatkan wajahnya pada Taeyong yang tak menatapnya lalu berkata ketus, “Taeyong, kau harus bicara pada ayah bahwa perkataanmu tidak benar!”

“Bodoh.”

“Apa? Bodoh katamu?!” pekik Jieun.

“Kau membuat orang-orang ingin tahu apa hubungan kita sebenarnya. Bukannya kau bilang hubungan kita rahasia?”

Ya, Jieun sempat bilang bahwa orang-orang sekolah tak boleh tahu ikatan keluarga mereka. Dan itu sangat membuatnya risih saat Jieun dengan semberono menghampirinya di sini. Gadis itu memang bodoh.

Jieun mendesis. “Bawel. Kita tidak punya hubungan apapun. Kau bukan siapa-siapa. Kau yang bodoh, otak udang.”

“Pergilah, kita bukan siapa-siapa.”

“Sialan kau. Bilang pada ayah jika yang kau katakan itu tidak benar, kalau tidak…”

“Kalau tidak apa? Kau mengancamku?” Taeyong langsung menatap Jieun dengan tajam. Lalu dengan cepat, beranjak dari duduknya, tanpa bicara apapun ia menarik tangan Jieun hingga membuat Jieun meringis. Membawanya pergi dari kantin tanpa peduli anggapan teman-temannya di sana yang melongo heran.

Siswa-siswi yang melihat Taeyong serta Jieun mulai berbisik. Bertanya-tanya ada apa antara Jieun si anak pemilik sekolah serta Taeyong si murid baru yang penuh bakat.

Jieun terdiam, rasanya percuma jika ia berteriak pada Taeyong agar melepasnya toh, nanti Taeyong takkan melepaskannya karena demi apapun, Taeyong adalah laki-laki terdingin yang mengalahkan musim panas sekalipun yang pernah ia temui.

Jadi, Jieun hanya bisa menekuk wajahnya karena terus ditarik oleh Taeyong ke tembok belakang sekolah yang dipagari oleh kawat yang menjulang tinggi.

Saat itupun tubuhnya dihantamkan pada tembok oleh Taeyong dengan kasar. Membuatnya kembali meringis. “Yak!  Itu sakit, bodoh! Apa yang kau lakukan, hah?! Seenaknya saja menarik tangan orang, dasar tak tahu sopan santun!” pekik Jieun, matanya melotot terhadap Taeyong yang berjarak lima senti dari wajahnya.

Tiba-tiba Jieun merasakan gelenyar aneh di sekelilingnya. Dadanya dibuat berdegup kencang oleh tatapan intimidasi Taeyong.

Wajah Taeyong semakin mendekati wajahnya. Lalu tangan Taeyong yang diletakan di tembok mengunci tubuhnya.

Dan entah kenapa kini Jieun merasa takut sekarang setelah membalas Taeyong dengan wajah kesal miliknya.

Tatapan tajam Taeyong…

Iris mata hitamnya…

Jieun melihatnya sangat dekat….

—tbc—

Tinggalkan komentar